MISHAL

Senin, 12 April 2010

teori barat mengenai keberadaan tuhan

akhir Akhir-akhir ini semakin sering kita temukan mereka yang meragukan
keberadaan Allah. Apalagi dijaman post-modern ini yg begitu dikuasai
oleh suatu pandangan yang dinamakan relativisme dimana pandangan ini
menolak adanya suatu kebenaran yg bersifat obyektif. Belum lagi timbul
penulis2 terkenal ateis seperti Richard Dawkins, Sam Harris dan
Christopher Hitchens yang buku-bukunya sangat laris dipasaran.
Semuanya ini merupakan suatu dorongan kuat bagi banyak orang utk
menolak kepercayaan akan adanya Allah.

Kebanyakan org2 yg tidak percaya akan adanya Allah adalah mereka yang
percaya kepada teori evolusi dan dengan kecenderungan suatu philosophy
yg bersifat naturalism / materialism. (Naturalism adalah pandangan yg
tidak menerima adanya Pencipta atas jagad raya ini, melainkan apapun
yg ada, ada secara natural oleh chance / keberuntungan.) Bagaimana hal
itu bisa terjadi tentunya adalah sekedar teori dan belum terbukti sama
sekali. Dan klaim org2 ateis adalah bahwa kepercayaan kepada adanya
Allah adalah suatu kepercayaan yg bersifat tidak rational. Kita tidak
bisa melihat bahwa Allah itu ada dan, secara filosofi, memang
keberadaan Allah itu tidak bisa dibuktikan dengan suatu kepastian total

Tapi hanya karena tidak ada argumen yg bisa secara 100% membuktikan
Allah itu ada bukan berarti kepercayaan akan adanya Tuhan adalah suatu
bentuk kepercayaan yg tidak rational. Kita tidak perlu harus
membuktikan secara demikian bahwa Allah itu ada, melainkan kita hanya
perlu memberikan suatu argumen yg rational dan yg secara konsisten
bisa menjelaskan mengapa dunia bisa ada, dan sebagainya

Berikut ini 3 argumen klasik yg bisa kita pelajari untuk
mempertahankan adanya Allah. Ingat bahwa semua argumen2 ini
berdasarkan suatu premise (alasan / dasar pemikiran), yaitu bahwa setiap akibat (effect) selalu terjadi oleh karena adanya suatu sebab (cause)

Dari dasar pemikiran ini ada 3 argumen yg bisa diberikan:

1. Segala sesuatu akibat (effect) didalam universe ini mempunyai asal mula (beginning)
2. Segala design didalam universe ini merupakan bukti bahwa ada Seorang Designer
3. Adanya hukum moral disebabkan oleh karena adanya Pribadi yang memberikan hukum moral tersebut

Dari 3 argumen diatas, maka kita bisa menyimpulkan dengan secara rational bahwa Allah itu ada, dan jika memang demikian ,maka adalah suatu hal yg layak bagi manusia untuk yakin bahwa Tuhan itu ada.

Argumen pertama, disebut sebagai argument yg bersifat cosmological. Cosmological argument berkata bahwa harus ada suatu Penyebab dari apapun yang terjadi. Argument ini sendiri sebenarnya belum bisa secara pasti membuktikan bahwa Penyebab itu adalah Allah. Sebab bisa saja yg dimaksud adalah yg lain. Tapi point penting dari argument ini adalah bahwa harus ada yg dinamakan sebagai the first cause (the uncaused cause) atau penyebab yg pertama dari segala sesuatu yang ada yg sifatnya terbatas (finite). Dan bahwa penyebab ini haruslah dikatakan sebagai penyebab pertama dari penyebab-penyebab lainnya.

Jadi dapat kita simpulkan bahwa dunia dan jagad raya ini ada permulaannya, dan penyebabnya adalah Tuhan. Kalau kita berkata bahwa penyebabnya adalah apa yg memang sudah ada didalam jagad raya ini (naturalisme), maka explanation semacam itu justru lebih tidak masuk akal. Bagaimana bisa suatu kotak box tercipta dari apa yang ada dalam box tersebut atau karena keberuntungan semata (by chance)? Kotak box (the universe) tercipta oleh karena ada Pencipta yg berada diluar kotak box dan menciptakan box tersebut.

Argumen kedua disebut sebagai teleological argument. Argumen ini menyatakan bahwa setiap benda merupakan suatu design. Dan adanya suatu design membuktikan atau setidaknya menyimpulkan adanya suatu designer / Designer.

Jika kita melihat jam tangan terletak dijalan, apakah yg bisa kita simpulkan? Yg kita bisa simpulkan secara rational adalah bahwa jam tangan tersebut tidak mungkin ada dengan sendirinya, melainkan pasti ada yg men-designnya. Sebab tidak mungkin jam tangan tersebut yg lengkap dengan baterei, jarum jam, dan alat2 jam lainnya, dan yg bisa berjalan dengan tepat, bisa dengan sendirinya men-design dirinya sendiri. Demikian pula jika kita melihat jagad raya ini yg berjalan dengan adanya suatu order, maka adalah suatu yg sangat rational jika kita menyimpulkan adanya seorang Designer intelligent yg men-design jagad raya. Sebab terdapat suatu order and balance dalam the universe merupakan bukti akan adanya pencipta yg hidup. Inilah adalah suatu argument yg sangat powerful, bahkan bekas pembicara ateis terkenal, Anthony Flew, akhirnya harus berubah pikiran dan mengakui adanya Allah oleh karena argument ini.

Disini mungkin orang akan bertanya, “ lalu siapa yg menciptakan Allah?” Argumen ini yg juga dilontarkan oleh Richard Dawkins untuk mencoba menunjukkan bahwa argument teleological tidak bisa diandalkan. Tapi yg dia lakukan adalah melakukan suatu kesalahan straw – man. Allah pada definisinya adalah Penyebab pertama dan bukan suatu ciptaan, dan tidak ada yg menyebabkan Dia utk tercipta, sebab apa yg tercipta adalah ciptaan. Argument teleological tidak berkata bahwa segala sesuatu mempunyai penyebab, melainkan segala akibat mempunyai penyebab. Kalau segala sesuatu mempunyai penyebab, maka kita akan tidak mungkin menemukan penyebab pertama, melainkan akan secara terus menerus mempunyai penyebab tanpa henti-hentinya (infinite causes)

Argumen ketiga disebut sebagai Moral argument. Darimana kita bisa tahu apa yang benar dan apa yang salah? Yg pasti adalah bukan karena menurut pandangan kita masing2 (itu adalah relativisme), melainkan kita bisa tahu karena adanya suatu hukum moral yg obyektif. Kita bisa tahu bahwa kebenaran adalah benar2 kebenaran , dan kejahatan adalah benar2 kejahatan, sama seperti kita tahu 2+2 = 4.

Dan siapa yg mungkin menciptakan hukum moral ini, kalau bukan Allah? Apakah kita bisa berkata bahwa ada manusia yg menciptakannya (spt yg org2 ateis ajarkan)? Jika demikian mengapa kita harus mengikuti apa yg ia katakan? Mengapa kita tidak berkata saja bahwa kejahatan sebenarnya adalah kebaikan dan kebaikan adalah kebenaran. Dan jika ada yg complain, apa haknya mereka bercomplain mengenai hal ini?

Banyak yg berkata bahwa apa yg menurut seseorang benar belum tentu benar bagi org lain. Tapi argument spt ini justru sangat tidak rational, sebab jika memang demikian, apa dasarnya sehingga kita harus mempercayai argument ini? Bukankah argumen macam ini hanya benar bagi mereka yg mengatakannya? Jadi kita melihat kalau kita tekan seseorang sedalam-dalamnya, maka setiap dari kita, (termasuk si relativist tsb) menyetujui adanya suatu hukum moralitas yg obyektif. Dan yg bisa memberikan hukum ini hanyalah Allah, yg jauh melampaui tempat dan waktu

Kalau memang benar bahwa kebenaran / kejahatan adalah suatu consensus masyarakat dimana kita berada dan bukannya sesuatu yg transcendent (melampaui segala sesuatu), maka kita bisa simpulkan bahwa Hitler tidak bersalah sebab waktu itu sebagian besar bangsa Jerman menyetujui tindakan2 dia.

Jadi ada hukum2 yg bersifat universal, yg tidak dibatasi oleh culture, atau pendapat mayoritas, seperti misalnya the laws of mathematics and the laws of logic. Dimanapun manusia berada, semua pasti menggunakan hukum2 ini, dan demikian mula hukum moralitas.
Kita semua tahu bahwa child abuse is wrong everywhere, bukan saja di satu negara atau kultur, melainkan disetiap negara dan kultur. Itu adalah tanda bahwa hukum moralitas bersifat universal dan diberikan Allah kepada tiap2 orang. Hanya saja manusia yg belum mengalami kelahiran baru "menindas" kebenaran yg diberikan dalam hati mereka oleh Allah, spt kata Paulus di Roma 1:18-22Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman
Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka.
Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih.
Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya.
Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh.
pencarian tuhan
Mari kita renungkan sejenak lingkungan dan kondisi-kondisi di mana kita tinggal. Kita tinggal di sebuah dunia yang dirancang dan didisain dengan halus dengan segala rincian yang mungkin. Bahkan sistem-sistem di da¬lam tubuh manusia saja begitu amat banyak kesempurnaannya. Sambil membaca buku ini, jantung Anda berdetak secara konstan tanpa henti, kulit Anda melakukan peremajaan sendiri, paru-paru Anda membersihkan udara yang Anda hirup, hati Anda mengalirkan darah Anda, dan jutaan protein disintesakan (dipadukan) ke dalam sel-sel Anda setiap detik dalam rangka menjamin keberlang¬sungan hidup. Manusia tidak menyadari adanya ribuan aktivitas yang berlangsung di dalam dirinya, bahkan tidak menyadari bagai¬mana sebagian aktivitas-aktivitas tersebut terjadi.

Dan jauh di atas sana ada matahari, jutaan kilometer jaraknya dari planet kita, yang memberi cahaya, panas, dan energi yang kita butuhkan. Jarak antara matahari dan bumi dibuat sedemikian rupa sehingga sumber energi ini tidak menghanguskan bumi ataupun membekukannya hingga mati.

Tatkala kita memandang ke langit, kita mempelajari bahwa lepas dari daya tarik estetisnya, massa udara yang menyelubungi bumi juga melindungi manusia dan semua makhluk lainnya dari kemungkinan ancaman-ancaman dari luar. Jika atmosfir tidak ada, maka tak akan ada satu makhluk hidup pun di muka bumi ini.

Seorang manusia, yang mau memikirkan fakta-fakta ini satu demi satu, cepat atau lam-bat akan bertanya bagaimana dirinya dan alam semesta yang ditempatinya ini terjadi dan bagaimana semua ini terpelihara. Tatkala dia mencari tahu tentang hal ini, akan mun¬cullah dua alternatif penjelasan.

Salah satu penjelasan ini mengatakan kepada kita bahwa seluruh alam semesta, planet-planet, bintang-bintang, dan semua makhluk hidup terjadi dengan sendirinya sebagai suatu hasil dari serangkaian peristiwa-peristiwa yang bersifat kebetulan. Dinyatakan bahwa atom-atom yang mengambang dengan bebas, yang merupakan unit-unit terkecil dari materi, secara kebetulan bersatu membentuk sel-sel, manusia-manusia, hewan-hewan, tanaman-tanaman, bintang-bintang, dan semua struktur yang sangat kompleks dan tanpa cacat ini beserta sistem-sistem yang mengelilingi kita dan menakjubkan ini.

Alternatif kedua mengatakan kepada kita bahwa segala hal yang kita lihat diciptakan oleh seorang pencipta yang memiliki kebijaksanaan dan kekuatan yang ulung di atas segala-galanya; bahwa tak ada sesuatu pun yang mungkin terjadi hanya secara kebetulan dan bahwa semua sistem yang ada di sekeli¬ling kita dirancang dan didisain oleh seorang pencipta. Sang pencipta ini adalah Allah.

Kita harus kembali pada nurani untuk memutuskan. Mungkinkah sistem-sistem yang begitu sempurna dan rinci ini dapat terbentuk secara kebetulan namun demikian sempurna harmoninya.

Siapapun yang berpulang ke hati nurani¬nya dapat menangkap bahwa segala sesuatu di alam semesta ini memiliki seorang pencipta, dan sang pencipta ini sangat terpuji kebi-jaksanaannya dan berkuasa atas segala hal. Segala sesuatu di sekeliling kita mengandung tanda-tanda nyata adanya Allah. Keseim-bangan dan keselarasan yang sempurna dari alam semesta ini dan makhluk-makhluk hidup di dalamnya, adalah indikasi yang paling kuat dari adanya suatu pengetahuan tertinggi. Bukti ini terang-benderang, seder-hana, dan tak terbantahkan. Nurani kita tidak punya pilihan kecuali mengakui bahwa semua ini adalah hasil karya Allah, satu-satunya Pencipta.

Akan tetapi, seseorang yang tidak kembali kepada nuraninya sendiri tidak dapat mencapai kesadaran yang sama. Kesadaran ini dicapai melalui kebijaksanaan, dan kebijak¬sanaan adalah sebuah sifat ruhaniah yang hanya muncul manakala seseorang mau men¬dengar nuraninya. Perilaku apa pun yang ditampilkan sesuai dengan nurani membantu membangun dan mengembangkan kebijaksanaan. Dengan demikian, di sinilah perlunya ada perhatian khusus tentang definisi kebijaksanaan. Berlawanan dengan pemakaiannya secara umum, kebijaksanaan adalah sebuah konsep yang berbeda dengan kecerdasan. Seseorang, tidak peduli betapa pun cerdas dan banyak pengetahuannya, akan tetap tidak bijaksana jika dia tidak mau mendengar nura¬ninya, dan tidak dapat melihat atau memahami fakta-fakta yang ditemuinya.

Sebuah contoh dapat menguraikan perbedaan antara kecerdasan dengan kebijaksanaan yang dicapai lewat nurani. Seorang ilmuwan bisa saja menempuh penelitian yang sangat rinci tentang sel selama bertahun-tahun. Bah¬kan bisa saja dia adalah orang paling ahli di bidangnya. Walaupun demikian, jika kebijak-sanaan dan nuraninya kurang, dia hanya dapat menguasai potongan-potongan pengeta¬huan saja. Dia tidak akan mampu menyusun potongan-potongan ini menjadi satu tubuh yang utuh. Dengan kata lain, dia tidak akan dapat menarik sebuah kesimpulan yang tepat dari isi informasi ini.

Namun, bagi seseorang yang memiliki kebijaksanaan dan nurani, merasakan adanya aspek-aspek yang menakjubkan dan kesem-purnaan dari detail sebuah sel, dan mengakui adanya tangan seorang pencipta, seorang di-sainer dengan kebijaksanaan yang ulung. Jika seseorang berpikir dengan menggunakan nuraninya dia akan sampai pada kesimpulan ini: kekuasaan yang menciptakan sebuah sel dengan kesempurnaan yang sedemikian itu tentulah pencipta dari semua makhluk hidup dan makhluk tak hidup lainnya.

Di dalam al-Quran ada contoh dari Nabi Ibrahim a.s., yang menemukan adanya Allah dengan mendengar nuraninya:

Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, Inilah Tuhanku. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata, Aku tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata, Inilah Tuhanku. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata, Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberiku petunjuk, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, .Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar, maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata, Hai kaumku, sesungguhnya aku cuci tangan dari apa yang kalian persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah... (Q.s. al-An.am: 76-9).

Bagaimana Nabi Ibrahim a.s. dulu menemukan adanya Allah melalui kebijaksanaan dapat terlihat dalam ayat-ayat di atas. Melalui nuraninya, dia menyadari bahwa semua hal yang terlihat di sekelilingnya hanyalah makhluk-makhluk yang diciptakan, dan bahwa Sang Pencipta jauh lebih unggul dari makhluk-makhluk itu. Siapa pun yang berpulang ke nuraninya akan melihat fakta ini bahkan jika tidak ada seorang pun yang memberi¬tahunya. Setiap orang yang berpikir dengan tulus, tanpa melibatkan hawa nafsunya, dan hanya menerapkan nuraninya saja, dapat memahami keberadaan dan keagungan Allah. Jika seseorang tidak mau melihat fakta-fakta yang gamblang di depan matanya ini, dan bertingkah seakan-akan fakta-fakta tadi tidak ada, maka orang ini akan menjadi hina meskipun dia cerdas. Alasan mengapa seseorang yang mengetahui kebenaran dengan nuraninya namun tidak mau menerimanya adalah karena fakta ini bertentangan dengan kepentingan-kepentingan pribadinya. Pengakuan seseorang atas adanya Allah berarti pengaku-annya bahwa dirinya berada jauh di bawah keunggulan yang kepada-Nya dia harus berserah diri, yang kepada-Nya dia sangat mem-butuhkan, dan yang kepada-Nya dia kelak akan ditanyai.

Tanda-tanda adanya Allah sangat jelas dan tampak bagi siapa saja yang mau melihatnya. Ini adalah sebuah bukti kebenaran bahwa Pencipta dari disain yang berlaku di seluruh alam semesta ini adalah Allah. Sebagian orang yang menolak adanya Allah berbuat demikian bukan karena mereka sungguh-sungguh tidak mempercayai-Nya namun karena mereka ingin menghindar dari aturan moral yang harus mereka taati sebagai orang-orang yang beriman. Setiap orang dengan nuraninya mengetahui eksistensi dan kekuasaan abadi Allah. Kendati demikian, seseorang yang mengakui adanya Allah dan merasakan kekuasaan-Nya, juga tahu bahwa dirinya kelak akan ditanyai oleh-Nya, dan bahwa dia harus mematuhi hukum-hukum-Nya dan hidup untuk-Nya. Sedangkan orang yang berkeras untuk menolak sekalipun dia sudah mengetahui fakta-fakta ini, berbuat demikian karena bila dia menerima fakta yang sangat besar ini tidak sesuai dengan kepentingan-kepentingannya dan perasaan superioritas yang ada di dalam dirinya. Di dalam al¬Qur.an orang-orang ini digambarkan di dalam Surat an-Naml:

"Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) pada-hal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.." (Q.s. an-Naml, 14).